Jumat, 19 Juni 2020

Aroma "ABS" dalam Tulisan Alfred Tuname




Beberapa waktu terakhir, jagat sosial media publik Manggarai (Timur) di ramaikan dengan pembicaraan tentang tulisan dalam suatu media online atas nama Alfred Tuname (AT). Bagaimana tidak, tulisan itu lumayan menarik serta memantik emosional golongan "cendekiawan muda" Manggarai, yang sedang berusaha menampik kedatangan tambang di Manggarai Timur. Pada umumnya, pokok dari tulisan itu ialah "dakwaan" si penulis pada beberapa pihak yang kontra pada gagasan pendirian pabrik semen di Desa Satar Punda, yang cukup polemis.

Di sejumlah WhatsApp Group (WAG) yang saya turuti, pembicaraan itu benar-benar ramai. Beberapa kritikan (tepatnya kecaman serta cercaan!) yang diperuntukkan pada si penulis semakin ramai. Begitupun beberapa grup Facebook (FB) atau posting personal yang tampil di timeline ramai didapati bahasan sama, kritikan keras pada AT, si penulis. Kecuali kritik yang diberi, cukup banyak pujian yang dilemparkan pada si penulis atas karya intelektualnya.

Sebetulnya, sejauh penilaian penulis, tulisan Alfred Tuname (AT) itu tidak ramai dibicarakan, bila cuma pada kerangka "pro serta kontra" pabrik semen di Desa Satar Punda. Sebab yang namanya satu kebijaksanaan pemerintah, "pro serta kontra" itu tetap ada. Yang membuatnya ramai ialah background serta reputasi digital penulis pada masalah yang sama.

Tahun 2015, AT tuliskan satu penjelasan pada media online floresa.co masalah kedukaannya dengan ramainya pertambangan di Manggarai, dengan ambil judul "Menantang Tambang, Pekerjaan Siapa?" (Ide/Floresa.co, 4 Agustus 2015). Tulisan itu, jelas AT, diproses dari materi yang dipresentasikan dalam rilis buku "Kenapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang", Karya Benny Denar.

Situs Main Togel Online Paling Seru

Secara singkat, dalam tulisan itu AT menelanjangi beberapa pihak dibalik tambang di Manggarai. Tidak sungkan, Alfred Tuname menyebutkan: "beberapa petinggi untuk kapitalis birokrat, yang jual tanah air serta bangsa dengan manfaatkan kedudukan untuk keuntungan pribadi serta investor tambang". Dikatakannya , "instansi peradilan, TNI/Polri serta preman wajahnya sipil juga digunakan untuk algojo untuk kebutuhan investor untuk raja fulus".

Diakhir tulisannya, AT menulis: "pada akhirnya pada saat kebijaksanaan negara (pemda) tanpa ada ideologi untuk rakyat, dengan cara tidak sadar nasib rakyat sedang digadaikan pada golongan kapitalis untuk kebutuhan serta keuntungan mereka. Kita sedang menantang mereka".

Tulisan AT itu memperlihatkan "begitu besar kepedulian serta kedukaannya akan nasib rakyat". Serta, bisa disadari cerita yang dibuat dalam tulisannya tidak saja terbatas pada karya cendekiawan semata-mata, tetapi lebih dari pada itu simpan kegelisahannya akan muka murung pembangunan di wilayah ini yang dikendalikan golongan elit serta investor. Angkat topi penulis, untuk karya besarnya.

Berseberangan dengan tulisannya di tahun 2015 itu, sekarang AT kembali arah. Ia ada dengan muka lain. AT "mencela da mencaci maki" beberapa pihak yang kontra pada produk kebijaksanaan Bupati Manggarai Timur yang benar-benar polemis, gagasan pembukaan tambang serta pendirian pabrik semen di Desa Satar Punda. Dalam tulisannya pada 13 Juni 2020, AT tuliskan satu pendapat pada media online sorotntt.com, berjudul "Korelasionisme Politik Diaspora serta Pabrik Semen di Matim" (SorotNTT.com, 13 Juni 2020).

AT mengawali tulisannya kesempatan ini dengan ‘sudut pandangnya pada politik, di Manggarai Timur'. Buat AT, segalanya tentu bergesekan dengan politik serta politik tetap terkait dengan ‘uang'. Begitu juga, beberapa orang yang terhimpun dalam diaspora yang mengkritik kebijaksanaan Bupati Manggarai Timur dengan menampik kedatangan tambang di Luwuk - Lengko Lolok. Dalam AT versus ke-2 ini, penampikan tambang tidak kurang daripada usaha "cari makan siang". AT mencuplik, "tidak ada makan siang yang gratis".

"Bila ada tuntutan tolak ini-itu, karena itu catatan kakinya ialah nomor rekening. Tuntutan juga diberi tanda tangan oleh diaspora serta kroninya sendiri. Keinginannya, siapa saja bisa isi di rekening itu". Demikianlah AT "mengejek" beberapa pihak yang menyebut dianya diaspora. Rangka pijaknya, saat pemerintah berupaya membuat wilayah untuk kebutuhan rakyatnya, tetap salah dimata diaspora. Walau sebenarnya, konsepsi diaspora seharusnya memberikan dukungan pembangunan wilayah, demikianlah cerita sesat Alfred Tuname.

Previous Post
Next Post